20121124

Kasus Lain Menanti Moerdaya



JAKARTA—“Kalau hanya dengan penyuapan tiga milyar rupiah saja di Sulteng, Moerdaya bisa dikurung oleh KPK, maka dapat dibayangkan jika Moerdaya memperdaya masyarakat selama tigapuluh lima tahun,” tutur Bambang Sadhono, S.H., kerabat dan penasehat hukum pemilik tanah.

Ulah Moerdaya, orang terkaya nomor urut ke-23 di Indonesia versi Globe Asia 2012 itu, nampaknya memang tak terlepas juga oleh tangan-tangan mafia tanah, oknum pejabat Pemda DKI dan oknum BPN RI seperti disinyalir Wimar Rijar Sitorus S.H.,M.H. (Pilar Bangsa Edisi Perdana, 29 Oktober—25 November). Moerdaya memang luar biasa. Ia anggota dewan pembina partai penguasa, bisa mempetieskan kasus tanah seluas 9,74 hektar, eks. Eig. Verp. N.6431 Podok Indah.


Moerdaya memang tidak sendirian,ia diduga kuat berkerja sama dengan pejabat-pejabat tekait (Pemda DKI, BPNRI, mafia tanah). Moerdaya juga tidak mengindahkan putusan lembaga peradilan yang memenangkan pemilik tanah. Seper ti putusan Pengadilan Negeri, putusan Pengadilan Tinggi, putusan Mahkamah Agung RI. Bahkan satgas mafia hukum di bawah  pinpinan Deni Indrayana, 2 tahun lalu, diminta mendorong pejabat BPN dan Pemda DKI, juga tak berdaya, mandul. Dikurungnya Moerdaya oleh KPK,membuat oknum pejabat Pemda DKI, BPNRI, yang bersekongkol dengan Moerdaya selama ini ketar-ketir. 

Moerdaya Masih  Mendaya
Bambang Sadhono mengatakan, pemilik tanah Ny. Hj. Heny Suhendani, kuasa ahli waris Toton-cs.
sesuai keputusan MA RI No. 81.K/TUN/2000, halaman 14, kolom 1,dan sesuai dengan surat kuasa
yang dibuat di notaris dengan nomor 59 tanggal 26 Januari 1980, Nomor 36 tanggal 19 Januari 1983,
dan surat pengoperan hak atas tanah Nomor 13 tanggal 29 April 1993.Hingga kini, (35 tahun—Red.),
masih tetap mengajukan surat permohonan kepada Badan Pertahanan Nasional (BPN), Pemprov DKI
Jakarta dan PT Metropolitan Kencana. Namun, upaya yang dilakukan Ny. Hj. Heny Suhendani tidak
juga membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Pihak PT Metropolitan Kencana belum juga mengembalikan lahan miliknya, serta tidak mendapat ganti rugi.

Ny. Hj. Heny Suhendani yang dihubungi  Pilar Bangsa melalui ponselnya mengatakan bahwa keberadaan tanah seluas 9,7 hektar tersebut merupakan pemberian Negara, dalam hal ini Pemerintah RI berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958, setelah tanah milik Eig. Verp. No. 6431 Pondok Pinang, sekarang Pondok Indah, seluas 43,83 hektar dikuasai langsung oleh Negara. Dan sebagai ganti rugi kepada pemilik, diberikan tanah seluas 9,74 hektar dengan status hak milik kepada ahli waris Toton-cs. secara resmi melalui beberapa SK Menteri  Agraria kepala BPN. 

Tapi, anehnya, akibat ulah mafia hukum, tanah eks. Eig. Verp. No.6431/Pondok Indah ini, PT. Metropolitan Kencana selaku yang dijadikan pengembang, nyatanya menguasai dan atau merampas tanah tersebut secara melawan hukum. “Padahal, pemberian hak milik  oleh negara adalah mengacu UU Nomor 1 tahun 1958, yang diakui oleh gubernur DKI Jakarta, sesuai dengan surat gubernur DKI 3186/1.711.9 tanggal 27 Januari 1999,”kata Bambang.

Bukan hanya itu, pada masa kepeminpinan Orde Baru, ada surat dari Bina Graha dan No. B-7-10/SEKBANG/9/92 tanggal 23 september 1992, dan surat Mentri Negara POLKAM, Faisal Tanjung, No. 61/Menko/SA. Kersa/8/ 1999 tanggal  20 agustus 1999, yang isinya mendesak BPN untuk segera menyelesaikan ganti rugi tanah seluas 9,74 hektar itu kepada Ahli waris Toton-cs, kuasa Ny. Hj Heny Suhendani. Namun anehnya, semua surat-surat dari para petinggi Negara tersebut dilecehkan oleh PT Metropolitan Kencana.

Padahal, dengan fakta hukum, bahwa PT Metropolitan Kencana dengan jelas mengetahui, kalau status tanah seluas 9,74 hektar yang diberikan oleh pemerintah tersebut berada di luar area kerja sama antara PT Metropolitan Kencana dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Sebagai mana surat keputusan Kepala Badan Pemerintahan Nasional Ir. Soni Harsono No. 919/HGB/BPN.91 tentang pemberian hak guna bangunan. PT Metoropolitan Kencana yang dikeluarkan tertanggal 11 November  1991, dimana secara tegas menyatakan di halaman 2 butir d: “Bahwa tanah yang dimohon ini di luar tanah seluas ±9,74 hektar yang dimohon penyelesaian ganti rugi oleh Ny. Hj.Heny Suhendani sesuai suratnya tanggal 8 april 1989.”

Sama halnya dengan surat Gubernur DKI NO.3186/0733 tanggal 13-11-1996 jo No. 159/-1.711.9 tanggal 27-1-1999 menyatakan bahwa tanah yang menjadi obyek kerja sama antara pemerintah DKI dengan PT Metropolitan  Kencana adalah di luar tanah seluas 9,74 hektar milik ahli waris Toton-cs. Sehingga, dengan demikian, apa yang telah dilakukan oleh pemda DKI bersama BPN, terutama kepada kepada kantor pertahanan Kota Administrasi Jakar ta Selatan, dengan mengeluarkan sejumlah sertifikat Hak Guna Bangunan kepada PT. Metroplitan Kencana di atas tanah tersebut, tentu oleh karena adanya campur tangan mark up kasus mafia hukum. 

Hj. Heny Suhendani dan Bambang Sadhono sedang berancang- ancang untuk memohon SK Gubernur DKI Jokowi untuk dapatkan ganti rugi dalam bentuk tanah sama dengan SK Gubernur Sutiyoso yang belum pernah dibatalkan. Rencananya, bila SK Gubernur Jokowi terbit, langsung akan digunakan untuk mengeksekusi tanah seluas 9,74 hektar yang terletak di Bukit Golf Pondok Indah itu. Sudah ada pihak-pihak yang akan dukung rencana tersebut, ujar Bambang Sadhono di akhir keterangannya.  [1] aadp

Tidak ada komentar:

Posting Komentar