Saat
ini masih banyak permasalahan pertanahan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI
yang belum terselesaikan, yang diduga disebabkan adanya perlawanan mafia tanah
yang mempengaruhi oknum pejabat BPN. Hal itu ditegaskan Wilmar Rizal Sitorus, SH.,
MH kepada wartawan di Jakarta, kemarin.
JAKARTA,
PILAR BANGSA
Wilmar
Rizal Sitorus menegaskan hal itu karena merasakan sendiri dugaan adanya mafia
yang mempengaruhi oknum pejabat BPN. ”Indikasinya sangat jelas. Ketika ada
gelar kasus antar BPN kabupaten/kota, Kanwil dan BPN Pusat berbeda-beda
pendapat dan keinginan masing-masing, sehingga permasalah pertanahan tidak
terselesaikan. Pada akhirnya, pada instansi tersebut terjadi penumpukan berkas
kasus pertanahan tak yang dapat diselesaikan secara tuntas dan berdasarkan
ketentuan hukum yang benar,” jelas Wilmar.
Menurutnya,
mafia tanah diduga mempengaruhi oknum pejabat BPN dan menjadi satu contoh modus
operandi para mafia tanah, yang menjalin akses kepentingan dengan pejabat BPN. Saat
ini Wilmar Rizal Sitorus menjadi kuasa hukum dari PT Sagita Real Estate, yang berperkara
dengan PT Harapan Jaya Bumi Pertiwi, menyangkut tanah di jalan Jenderal
Sudirman kav 29-30, Kuningan Timur Jakarta Selatan.Wimar merasa kesal karena permohonan
pembatalan sertifikat tanah No. 1663/Kuningan Timur atas nama PT Harapan Jaya
Bumi Pertiwi, ditolak BPN.
Padahal,
katanya, permohonan pembatalan yang dia ajukan berdasarkan kepada PMNA/KA-BPN
RI No. 9/1999 yang mengatur antara lain unsur cacat hukum administeratif
sebagai Baca Halaman 11syarat untuk membatalkan sertifikat hak atas tanah. ”Kami
juga melaporkan ke Polda Metro Jaya adanya dugaan tindak pidana menempatkan
keterangan yang tidak benar ke dalam otentik. Barang buktinya antara lain akte
peralihan hak No. 44 Notaris Soekaimi, akte kuasa No. 183 dibuat notaris Soekaimi.
Faktanya pengalihan tidak mempunyai kualitas hukum atas tanah yang dialihkan.
Obyek tanahnya pun masih jadi obyek perkara yang sedang berlangsung di pengadilan,”
kata Wilmar.
Masih
menurut Wilmar, dalam gelar perkara Rabu (16/2) 2011 di BPN, keterangan penyidik
Polda Metro menemukan risalah pemeriksaan tanah No. 1798/PJS/2000 ada enam orang
yang mengakui tidak pernah menjadi anggota panitia ”A” Wilmar mengatakan bahwa salah satu kesimpulan gelar
yang sebenarnya adalah untuk membuktikan
unsur cacat hukum administerasi sebagai prosedur pembatalan.
Bila
terbukti HGB dibatalkan. Sebaliknya jika tidak terbukti permohonn pembatalan
ditolak. ”Ini artinya, kesimpulan gelar kasus adalah hasil uji Labkrim terhadap
Risalah pemeriksaan tanah Panitia ‘A’ akan menjadi penentu permohonan
pembatalan ditolak atau diterima, tidak tergantung dari hasil penyidikan
perkara pidana yang disidik Polda Metro Jaya,” tegas Wilmar. Persoalan kata
Wilmar menjadi keruh ketika Kepala Seksi BPN
Hotman Pardomuan diduga mengubah beritaacara gelar perkara.
Hal
ini dapat dibuktikan dengan fakta bahwa ketika Wilmar menyamnpaikan informasi
kepada Hotman tapi dikatakan ‘belum ada
petunjuk dari atasan’. Tapi saat Dir
Sengketa Elfacri ditanya jawabannya ‘berkads belum naik dari bawah’. ”Ketika
Dir Sengketa dijabat Helfi Noezir, Wlmar berulang diskui tentang hasil uji Labkrim
tapi dikatakan tuduhan tindak pidana yang dilaporkan P Sagita tidak terbukti. Bahkan
sudah di SP-3. Dia juga berjanji akan gelar internal,” kata Wilmar. Tapi ketika
Deputi 5 digantikan Suwandi, gelar perkara dan gelar istimewa yang ditentukan
dalam gelar kasuys tanggal 16 Pebruari 2011 tidak pernah dilaksanakan walaupun sudah
diketahui risalah tersebut palsu.” Pada 6 Juli kami menerima surat permohonan pembatalan
ditolak karena alasan utamanya adalah perkara pidana dihentikan penyidik Polda
Metro Jaya,” ujar Wilmar lagi.
Dari
uraian itu Wilmar menilai ada keberpihakan oknum BPN terhadap pemilik sertifikat
No. 1663 yang terindikasi kuat melanggar
ketentuan hukum untuk memperoleh hak atas tanah. Pada akhirnya Wilmar berpendapat
bahwa reformasi birokrasi di BPN tidak berjalan dengan baik sehingga banyak sengketa
tanah yang tak terselesaikan secara tuntas dan banyak sertifikat yang
semestinya dibatalkan tapi tidak dilaksanakan.
Sementara
itu wartawan yang hendak melakukan konfirmasi kepada Deputi V BPN ditolak oleh
bagian Humas BPN. Salah satu staf Humas mengatakan bila ingin konfirmasi harus
melalui permohonan resmi. Sistem birokrasi yang berbelit seperti itu memungkinkan
informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat menjadi tersumbat. [1] tim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar