20121028

Mafia Tanah Diduga Hambat Reformasi Birokrasi di BPN RI



Saat ini masih banyak permasalahan pertanahan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) RI yang belum terselesaikan, yang diduga disebabkan adanya perlawanan mafia tanah yang mempengaruhi oknum pejabat BPN. Hal itu ditegaskan Wilmar Rizal Sitorus, SH., MH kepada wartawan di Jakarta, kemarin.

JAKARTA, PILAR BANGSA
Wilmar Rizal Sitorus menegaskan hal itu karena merasakan sendiri dugaan adanya mafia yang mempengaruhi oknum pejabat BPN. ”Indikasinya sangat jelas. Ketika ada gelar kasus antar BPN kabupaten/kota, Kanwil dan BPN Pusat berbeda-beda pendapat dan keinginan masing-masing, sehingga permasalah pertanahan tidak terselesaikan. Pada akhirnya, pada instansi tersebut terjadi penumpukan berkas kasus pertanahan tak yang dapat diselesaikan secara tuntas dan berdasarkan ketentuan hukum yang benar,” jelas Wilmar.

Menurutnya, mafia tanah diduga mempengaruhi oknum pejabat BPN dan menjadi satu contoh modus operandi para mafia tanah, yang menjalin akses kepentingan dengan pejabat BPN. Saat ini Wilmar Rizal Sitorus menjadi kuasa hukum dari PT Sagita Real Estate, yang berperkara dengan PT Harapan Jaya Bumi Pertiwi, menyangkut tanah di jalan Jenderal Sudirman kav 29-30, Kuningan Timur Jakarta Selatan.Wimar merasa kesal karena permohonan pembatalan sertifikat tanah No. 1663/Kuningan Timur atas nama PT Harapan Jaya Bumi Pertiwi, ditolak BPN.

Padahal, katanya, permohonan pembatalan yang dia ajukan berdasarkan kepada PMNA/KA-BPN RI No. 9/1999 yang mengatur antara lain unsur cacat hukum administeratif sebagai Baca Halaman 11syarat untuk membatalkan sertifikat hak atas tanah. ”Kami juga melaporkan ke Polda Metro Jaya adanya dugaan tindak pidana menempatkan keterangan yang tidak benar ke dalam otentik. Barang buktinya antara lain akte peralihan hak No. 44 Notaris Soekaimi, akte kuasa No. 183 dibuat notaris Soekaimi. Faktanya pengalihan tidak mempunyai kualitas hukum atas tanah yang dialihkan. Obyek tanahnya pun masih jadi obyek perkara yang sedang berlangsung di pengadilan,” kata Wilmar.

Masih menurut Wilmar, dalam gelar perkara Rabu (16/2) 2011 di BPN, keterangan penyidik Polda Metro menemukan risalah pemeriksaan tanah No. 1798/PJS/2000 ada enam orang yang mengakui tidak pernah menjadi anggota panitia ”A”  Wilmar mengatakan bahwa salah satu kesimpulan gelar yang sebenarnya adalah untuk  membuktikan unsur cacat hukum administerasi sebagai prosedur pembatalan.

Bila terbukti HGB dibatalkan. Sebaliknya jika tidak terbukti permohonn pembatalan ditolak. ”Ini artinya, kesimpulan gelar kasus adalah hasil uji Labkrim terhadap Risalah pemeriksaan tanah Panitia ‘A’ akan menjadi penentu permohonan pembatalan ditolak atau diterima, tidak tergantung dari hasil penyidikan perkara pidana yang disidik Polda Metro Jaya,” tegas Wilmar. Persoalan kata Wilmar menjadi keruh ketika Kepala Seksi BPN  Hotman Pardomuan diduga mengubah beritaacara gelar perkara.

Hal ini dapat dibuktikan dengan fakta bahwa ketika Wilmar menyamnpaikan informasi kepada Hotman tapi dikatakan  ‘belum ada petunjuk dari atasan’.  Tapi saat Dir Sengketa Elfacri ditanya jawabannya ‘berkads belum naik dari bawah’. ”Ketika Dir Sengketa dijabat Helfi Noezir, Wlmar berulang diskui tentang hasil uji Labkrim tapi dikatakan tuduhan tindak pidana yang dilaporkan P Sagita tidak terbukti. Bahkan sudah di SP-3. Dia juga berjanji akan gelar internal,” kata Wilmar. Tapi ketika Deputi 5 digantikan Suwandi, gelar perkara dan gelar istimewa yang ditentukan dalam gelar kasuys tanggal 16 Pebruari 2011 tidak pernah dilaksanakan walaupun sudah diketahui risalah tersebut palsu.” Pada 6 Juli kami menerima surat permohonan pembatalan ditolak karena alasan utamanya adalah perkara pidana dihentikan penyidik Polda Metro Jaya,” ujar Wilmar lagi.

Dari uraian itu Wilmar menilai ada keberpihakan oknum BPN terhadap pemilik sertifikat No. 1663 yang terindikasi kuat  melanggar ketentuan hukum untuk memperoleh hak atas tanah. Pada akhirnya Wilmar berpendapat bahwa reformasi birokrasi di BPN tidak berjalan dengan baik sehingga banyak sengketa tanah yang tak terselesaikan secara tuntas dan banyak sertifikat yang semestinya dibatalkan tapi tidak dilaksanakan.

Sementara itu wartawan yang hendak melakukan konfirmasi kepada Deputi V BPN ditolak oleh bagian Humas BPN. Salah satu staf Humas mengatakan bila ingin konfirmasi harus melalui permohonan resmi. Sistem birokrasi yang berbelit seperti itu memungkinkan informasi yang seharusnya disampaikan kepada masyarakat menjadi tersumbat.  [1] tim

Tidak ada komentar:

Posting Komentar