JAKARTA—“Kalau hanya
dengan penyuapan tiga milyar rupiah saja di Sulteng, Moerdaya bisa dikurung
oleh KPK, maka dapat dibayangkan jika Moerdaya memperdaya masyarakat selama
tigapuluh lima tahun,” tutur Bambang Sadhono, S.H., kerabat dan penasehat hukum
pemilik tanah.
Ulah Moerdaya, orang terkaya nomor urut ke-23 di Indonesia
versi Globe Asia 2012 itu, nampaknya memang tak terlepas juga oleh
tangan-tangan mafia tanah, oknum pejabat Pemda DKI dan oknum BPN RI seperti
disinyalir Wimar Rijar Sitorus S.H.,M.H. (Pilar Bangsa Edisi Perdana, 29
Oktober—25 November). Moerdaya memang luar biasa. Ia anggota dewan pembina
partai penguasa, bisa mempetieskan kasus tanah seluas 9,74 hektar, eks. Eig.
Verp. N.6431 Podok Indah.
Moerdaya memang tidak sendirian,ia diduga kuat berkerja sama
dengan pejabat-pejabat tekait (Pemda DKI, BPNRI, mafia tanah). Moerdaya juga
tidak mengindahkan putusan lembaga peradilan yang memenangkan pemilik tanah.
Seper ti putusan Pengadilan Negeri, putusan Pengadilan Tinggi, putusan Mahkamah
Agung RI. Bahkan satgas mafia hukum di bawah
pinpinan Deni Indrayana, 2 tahun lalu, diminta mendorong pejabat BPN dan
Pemda DKI, juga tak berdaya, mandul. Dikurungnya Moerdaya oleh KPK,membuat oknum
pejabat Pemda DKI, BPNRI, yang bersekongkol dengan Moerdaya selama ini
ketar-ketir.
Moerdaya Masih Mendaya
Bambang Sadhono mengatakan, pemilik tanah Ny. Hj. Heny
Suhendani, kuasa ahli waris Toton-cs.
sesuai keputusan MA RI No. 81.K/TUN/2000, halaman 14,
kolom 1,dan sesuai dengan surat kuasa
yang dibuat di notaris dengan nomor 59 tanggal 26 Januari
1980, Nomor 36 tanggal 19 Januari 1983,
dan surat pengoperan hak atas tanah Nomor 13 tanggal 29
April 1993.Hingga kini, (35 tahun—Red.),
masih tetap mengajukan surat permohonan kepada Badan
Pertahanan Nasional (BPN), Pemprov DKI
Jakarta dan PT Metropolitan Kencana. Namun, upaya yang
dilakukan Ny. Hj. Heny Suhendani tidak
juga membuahkan hasil seperti yang diharapkan. Pihak PT
Metropolitan Kencana belum juga mengembalikan lahan miliknya, serta tidak mendapat
ganti rugi.
Ny. Hj. Heny Suhendani yang dihubungi Pilar Bangsa melalui ponselnya mengatakan
bahwa keberadaan tanah seluas 9,7 hektar tersebut merupakan pemberian Negara,
dalam hal ini Pemerintah RI berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958, setelah
tanah milik Eig. Verp. No. 6431 Pondok Pinang, sekarang Pondok Indah, seluas
43,83 hektar dikuasai langsung oleh Negara. Dan sebagai ganti rugi kepada
pemilik, diberikan tanah seluas 9,74 hektar dengan status hak milik kepada ahli
waris Toton-cs. secara resmi melalui beberapa SK Menteri Agraria kepala BPN.
Tapi, anehnya, akibat
ulah mafia hukum, tanah eks. Eig. Verp. No.6431/Pondok Indah ini, PT. Metropolitan
Kencana selaku yang dijadikan pengembang, nyatanya menguasai dan atau merampas
tanah tersebut secara melawan hukum. “Padahal, pemberian hak milik oleh negara adalah mengacu UU Nomor 1 tahun
1958, yang diakui oleh gubernur DKI Jakarta, sesuai dengan surat gubernur DKI
3186/1.711.9 tanggal 27 Januari 1999,”kata Bambang.
Bukan hanya itu, pada masa kepeminpinan Orde Baru, ada surat
dari Bina Graha dan No. B-7-10/SEKBANG/9/92 tanggal 23 september 1992, dan
surat Mentri Negara POLKAM, Faisal Tanjung, No. 61/Menko/SA. Kersa/8/ 1999
tanggal 20 agustus 1999, yang isinya
mendesak BPN untuk segera menyelesaikan ganti rugi tanah seluas 9,74 hektar itu
kepada Ahli waris Toton-cs, kuasa Ny. Hj Heny Suhendani. Namun anehnya, semua
surat-surat dari para petinggi Negara tersebut dilecehkan oleh PT Metropolitan
Kencana.
Padahal, dengan fakta hukum, bahwa PT Metropolitan Kencana dengan
jelas mengetahui, kalau status tanah seluas 9,74 hektar yang diberikan oleh
pemerintah tersebut berada di luar area kerja sama antara PT Metropolitan
Kencana dengan pemerintah provinsi DKI Jakarta. Sebagai mana surat keputusan Kepala
Badan Pemerintahan Nasional Ir. Soni Harsono No. 919/HGB/BPN.91 tentang
pemberian hak guna bangunan. PT Metoropolitan Kencana yang dikeluarkan
tertanggal 11 November 1991, dimana
secara tegas menyatakan di halaman 2 butir d: “Bahwa tanah yang dimohon ini di
luar tanah seluas ±9,74 hektar yang dimohon penyelesaian ganti rugi oleh Ny.
Hj.Heny Suhendani sesuai suratnya tanggal 8 april 1989.”
Sama halnya dengan surat Gubernur DKI NO.3186/0733 tanggal 13-11-1996
jo No. 159/-1.711.9 tanggal 27-1-1999 menyatakan bahwa tanah yang menjadi obyek
kerja sama antara pemerintah DKI dengan PT Metropolitan Kencana adalah di luar tanah seluas 9,74 hektar
milik ahli waris Toton-cs. Sehingga, dengan demikian, apa yang telah dilakukan
oleh pemda DKI bersama BPN, terutama kepada kepada kantor pertahanan Kota
Administrasi Jakar ta Selatan, dengan mengeluarkan sejumlah sertifikat Hak Guna
Bangunan kepada PT. Metroplitan Kencana di atas tanah tersebut, tentu oleh
karena adanya campur tangan mark up kasus mafia hukum.
Hj. Heny Suhendani dan Bambang Sadhono sedang berancang- ancang
untuk memohon SK Gubernur DKI Jokowi untuk dapatkan ganti rugi dalam bentuk
tanah sama dengan SK Gubernur Sutiyoso yang belum pernah dibatalkan.
Rencananya, bila SK Gubernur Jokowi terbit, langsung akan digunakan untuk
mengeksekusi tanah seluas 9,74 hektar yang terletak di Bukit Golf Pondok Indah
itu. Sudah ada pihak-pihak yang akan dukung rencana tersebut, ujar Bambang
Sadhono di akhir keterangannya. [1]
aadp
Tidak ada komentar:
Posting Komentar